Selasa, 18 November 2014

WANITA BERAMBUT MERAH



Langit kelam, gelap seperti tak berpenghuni. Musim penghujan...aku mengerti.
Aku menduduki sebuah bangku kayu panjang didepan sebuah warung rokok yang menebar cahaya lampu neon yang dikerumuni laron. Laron...Ingatanku segera terbang kebeberapa tahun silam waktu masih berseragam abu-abu putih ketika mengunjungi sebuah daerah pedalaman Jawa. Laron...Aku memakan lahap peyek yang disuguhkan bersama teh tubruk hangat...kriukk...kriukk..hingga mataku mendelik kemudian...Siempunya rumah tersenyum menyadari kekagetanku bahwa peyek itu bukan peyek kacang, atau peyek teri melainkan peyek laron...Ohhh, kulanjutkan kegiatan kriukk kriukk itu demi menghargai siempu rumah dengan senyum semanisss mungkin...O lala nduk.

Hatiku tambah kecut. Setengah jam berlalu sudah. Bapak anakku belum juga muncul, kemana sih dia! Bolak-balik aku pandangi jam tangan padahal sampai kapanpun bentuknya bakal selalu begitu alias tidak akan berubah. Kami sudah menetapkan janji bertemu disini, didepan warung yang nangkring dideretan diskotik dan bar disebelah lapangan mabes, disebelah halte busway tidak jauh dari Pasar Raya, tidak jauh dari Mal Blok-M. 

Rasa bosan sudah mulai menggelayuti, menunggu adalah pekerjaan menyebalkan bin membosankan.
Sudah jam 9 malam. Wanita-wanita berpakaian super ketat, celana dan rok super pendek mulai berseliweran didepan mata, menebar aroma menusuk hidung. Mataku mulai sibuk mengikuti gerakan mereka. Keluar masuk bar dibarengi ketukan hak sepatu, menenteng tas, mengibas rambut. Sesekali asap tipis mengepul dari bibir bergincu merah cabai, mengumbar senyum menebar pesona. Semua gerakan itu tampak luwes, tidak canggung.

Wanita itu berambut merah. Wajahnya pribumi, berarti dia mencat rambutnya. Untung saja kulitnya putih. Tubuhnya tinggi langsing berbalut tanktop putih plus rok span berwarna merah menyala namun lebih merah ketimbang rambutnya. Dia berjalan kearahku. Kuterka tinggi hak sepatunya sekitar 9 centi, awh...kakiku sudah pegal membayangkannya.

Hitungan detik wanita berambut merah itu sudah duduk disebelahku. Tubuh langsingnya mengeluarkan aroma parfum, aroma vanila...ehmm seperti roti baru keluar dari oven. Dia tanya padaku apa aku punya korek api. Kubilang tidak lalu ia beli dari warung rokok didepan kami duduk. Ponsel wanita berambut merah itu bunyi, merengek-rengek minta diangkat. Pembicaraan ngalor-ngidulpun dimulai. Wanita berambut merah itu kadang menggunakan bahasa Inggris yang fasih, bahasa gaul dan bahasa-bahasa lain yang cuma dia dan teman lawan bicaranya yang mengerti.

Kami terlibat pembicaraan setelahnya. Fashion, gaya rambut, hobby...pernikahan singkatnya dengan pria bule. Wanita ini lebih banyak bicara, tawanya lepas, tanpa beban. Aku tidak tahu pasti, barangkali dia menyimpan beban tapi dia tidak bagi denganku, lagipula siapa aku.

" Udara dingin begini, nggak kedinginan mbak ?". Tanyaku iseng. Aku yang pakai jaket saja kedinginan apalagi dia pakai tanktop. Yang ditanya malah tersenyum. 

" Dingin sih...". Dia menghisap rokok yang terselip dijarinya. " Makannya saya mau cari kehangatan...hahaha...". Tawanya lepas. Sebetulnya aku mau ikutan tertawa juga tapi urung, bapaknya anakku sudah muncul rupanya. Aku pamit pada wanita berambut merah yang menyenangkan itu.

Diatas motor aku berceloteh tentang wanita berambut merah. Bicaraku bahkan lebih banyak ketimbang wanita itu. Oh...hmm..trus...cuma itu yang keluar dari bibir pria yang memboncengiku. " kenapa lama sekali sih tadi ?". Tanyaku belakangan. Yang ditanya diam saja serius mengendarai motornya menembus udara dingin. Brrr...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar